Prinsipal kartu kredit (credit card
principal) adalah lembaga-lembaga atau perusahaan-perusahaan yang
menjalankan transaksi pembayaran kartu kredit. Transaksi ini bisa bersifat
nasional (regional) atau bahkan Internasional. Di dunia kita pernah mengenal
beberapa prinsipal kartu kredit. Untuk pasar Indonesia itu sendiri mungkin saat
ini prinsipal yang paling dikenal adalah VISA dan MasterCard. Jadi dengan kata
lain yang dimaksudkan prinsipal kartu kredit itu bukanlah bank penerbit kartu
kredit melainkan semacam logo atau merek kartu kredit yang diterbitkan oleh
bank tersebut. Tanpa ada logo seperti ini, kartu kredit tidak bisa dipergunakan
sebagaimana mestinya. Tentu saja untuk mendapatkan logo seperti ini para penerbit
kartu kredit harus bekerjasama dengan prinsipal kartu kredit itu sendiri.
Kalau kartu kredit yang
Anda miliki saat ini adalah VISA, maka perusahaan bernama VISA inilah yang
menjadi prinsipal kartu kredit Anda. Meski bisa saja kartu kredit Anda dikeluarkan
oleh Citibank, BCA, Bank Mega, Mandiri, dsb. Kalau saat ini kartu kredit di
dompet Anda adalah Mastercard, maka perusahaan bernama MasterCard inilah yang
menjadi prinsipal kartu kredit Anda. Meski bisa saja kartu kredit MasterCard
Anda dikeluarkan oleh bank HSBC, Bank Permata, Standard Chartered Bank (SCB),
dsb. Karena VISA dan MasterCard menjadi perusahaan yang mengatur dan mengurus
transaksi Anda. Jadi boleh dikatakan tanpa adanya prinsipal kartu kredit,
sebuah kartu kredit tidak bisa diterbitkan dan dipergunakan sebagaimana
mestinya. Prinsipal kartu kredit bisa saja bank itu sendiri atau mungkin sebuah
perusahaan jasa biasa. Sebab kita tahu bahwa perusahaan bernama VISA ini asal
mulanya memang dari lembaga perbankan itu sendiri.
Rencana perbankan Indonesia untuk menjadi tuan rumah di
negeri sendiri dalam sistem pembayaran kartu kredit sudah dimulai di tahun
2010. Namun demikian sampai awal tahun 2015 ini rencana itu tidak pernah
terwujud padahal jumlah pengguna kartu di Indonesia hampir mendekati angka 150
juta kartu.
Salahsatu
bank yang dalam waktu dekat akan mendirikan prinsipal lokal kartu kredit adalah
Bank Central Asia. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, mengatakan tengah
menggodok pembentukan prinsipal lokal. Targetnya, prinsipal kartu kredit
tersebut meluncur tahun depan.
Sejatinya,
menjadi prinsipal kartu kredit bukan hal baru bagi BCA. Selama ini BCA sudah
memiliki BCA Card. Bahkan, BCA Card sudah bisa digunakan di Singapura. Tapi,
jaringan ini hanya bisa digunakan BCA sendiri.
Deputi
Gubernur Bank Indonesia (BI), Ronald Waas, menyatakan, BI mendorong perbankan
lokal membentuk prinsipal lokal kartu kredit. Peluang dan potensi pasar kartu
kredit masih besar.
Lihat
saja, nilai transaksi kartu kredit per tahun mencapai Rp 180 triliun, sekitar
90% merupakan transaksi domestik. "Sehingga lebih baik punya domestic
brand kartu kredit," kata Ronald.
Dengan
kehadiran prinsipal lokal, biaya transaksi kartu kredit menjadi lebih murah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Dodit Probojakti,
mengatakan biaya transaksi lebih efisien. Bank tidak perlu membayar royalti ke
prinsipal kartu kredit asing.
Namun
demikian rencana tersebut sampai saat ini belum terwujud. Prime Access Card,
sebagai salahsatu pemain di jaringan transaksi berusaha mewujudkan mimpi bangsa
Indonesia untuk keluar dari penjajahan transaksi keuangan tersebut dengan
melaunching Prime Access Card yang mengusung tagline Shopping, Saving, Secure.
Proyek
maha karya ini setidaknya melibatkan lebih dari 15 perusahaan multi nasional
dari 10 negara yang punya peran masing masing, mulai dari pencetak kartu,
penyedia server, produsen EDC, penyedia lalu lintas data dan lain sebagainya
dengan total investasi puluhan triliun.
Adalah
Widya T Harjono, sosok anak desa yang saat ini menjabat sebagai President and
CEO Prime Access Card, sosok dibalik kelahiran prinsipal kartu kredit dan kartu
debit asli Indonesia ini. Ndeso kata orang Jawa, itulah kesan pertama yang akan
muncul ketika kita bertemu dengan beliau. Namun demikian apabilakita sudah
berbincang banyak, kita akan tahu bahwa beliau seorang yang sangat visioner dan
berwawasan luas, meskipun umurnya baru 36 tahun. Beliau menyelesaikan
studi S1 dari Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurusan Manajemen pada tahun 1996 dan melanjutkan S2 Magister
Manajemen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha Yogyakarta pada tahun
2012.
Widya T Harjono mengawali karirnya sebagai marketing di PT Indofutop Jakarta setelah lulus dari S1 Manajemen Universitas Sebelas Maret pada tahun 2000. Perusahaan ini bergerak dalam bidang perdagangan futures dan option.
Widya T Harjono mengawali karirnya sebagai marketing di PT Indofutop Jakarta setelah lulus dari S1 Manajemen Universitas Sebelas Maret pada tahun 2000. Perusahaan ini bergerak dalam bidang perdagangan futures dan option.
Keluar dari PT
Indofutop, beliau masuk ke PT Nusa Surya Ciptadana sebagai Marketing Officer
pada tahun 2004. Perusahaan ini bergerak dalam bidang pendanaan kredit sepeda
motor Honda.
Untuk menambah pengalaman ia memutuskan diri untuk mengikuti Retooling Program yang dilaksanakan oleh United Nation Development Program (UNDP) dengan penempatan di PTPN IX Ngobo Semarang pada tahun 2005.
Untuk menambah pengalaman ia memutuskan diri untuk mengikuti Retooling Program yang dilaksanakan oleh United Nation Development Program (UNDP) dengan penempatan di PTPN IX Ngobo Semarang pada tahun 2005.
Pekerjaan sebagai
karyawan ternyata tidak menjadikannya berpuas diri dan merasa kurang
berkembang. Dengan modal yang dikumpulkan selama menjadi karyawan, beliau
memutuskan diri untuk mendirikan CV. Anugrah Niaga yang bergerak dalam bidang
distribusi consumer good pada tahun 2006.
Kesibukannya di CV.
Anugrah Niaga tidak menjadikannya lupa akan tekad untuk membangun bangsanya.
Dengan berbekal tekad yang kuat, bersama dengan beberapa rekannya mendirikan
CESSEE (Center for Entrepreneurship and Small Medium Enterprise Assistance)
dengan home offfice di Sleman Yogyakarta. Melalui lembaga ini beliau mengajar
dan memberikan konsultasi serta motivasi UMKM di seluruh wilayah Indonesia
khususnya Jawa Tengah dan sekitarnya mulai tahun 2007 sampai dengan 2013. Di
lembaga ini Widya T Harjono menjabat sebagai Direktur Eksekutif. Tahun 2013
beliau mengundurkan diri dari CESSEE untuk focus pada beberapa perusahaan yang
dipimpinnya.
“Kita harus keluar
dari penjajahan transaksi keuangan yang sebenernya kita bisa dan mampu untuk
itu. Tugas saya hanya meyakinkan kepada bangsa Indonesia” , demikian kata Widya
T Harjono di kantornya. Anda ingin mendukung beliau untuk keluar dari
penjajahan transaksi keuangan? Silahkan share tulisan ini.